Selasa, 17 April 2012

Buletin Bagian KaHiji

Bagian I

Pusat Pemerintahan Kerajaan Pajajaran Selalu Berpindah-Pindah, Seperti Kawali Yang Juga Pernah Dijadikan Sebagai Ibu Kota Kerajaan Pajajaran. Keturunan Manarah Dalam Garis Turunan Laki-Laki Terputus Sehingga Pada Tahun 852 Tahta Galuh Jatuh Kepada Keturunan Banga, Yaitu Rakeyan Wuwus Yang Beristrikan Puteri Keturunan Galuh. Sebaliknya Adik Perempuan Rakeyan Wuwus Menikah Dengan Putera Galuh Yang Kemudian Menggantikan Kedudukan Iparnya Sebagai Raja Sunda IX Dengan Gelar Prabu Darmaraksa Buana.



Kehadiran Orang Galuh Sebagai Raja Sunda Di Pakuan Waktu Itu Belum Dapat Diterima Secara Umum, Hal Ini Dapat Dimaklumi Karena Sama Halnya Dengan Kehadiran Sanjaya Dan Tamperan Sebagai Orang Sunda Di Galuh. Bahkan Prabu Darmaraksa [ 891 - 895 ] Tewas Dibunuh Oleh Seorang Menteri Sunda Yang Sangat Fanatik Akan Hal Ini. Setelah Peristiwa Itu, Tiap Raja Sunda Yang Baru Pastilah Akan Selalu Memperhitungkan Tempat Kedudukan Yang Akan Dipilihnya Menjadi Pusat Pemerintahan. Dengan Demikian, Pusat Pemerintahan Itu Berpindah-Pindah Dari Barat Ke Timur Dan Sebaliknya. Antara Tahun 895 Sampai Tahun 1311 Kawasan Jawa Barat Diramaikan Sewaktu-Waktu Oleh Iring-Iringan Rombongan Raja Baru Yang Berpindah Tempat.

Ayah Sri Jayabupati Berkedudukan Di Galuh, Sri Jayabupati Di Pakuan, Tetapi Puteranya Berkedudukan Di Galuh Lagi. Dua Raja Berikutnya [ Raja Sunda Ke-22 Dan Ke-23 ] Memerintah Kembali Di Pakuan. Raja Ke-24 Memerintah Di Galuh Dan Raja Ke-25, Yaitu Prabu Guru Darmasiksa Mula-Mula Berkedudukan Di Saunggalah, Kemudian Pindah Lagi Ke Pakuan. Puteranya, Prabu Ragasuci, Berkedudukan Di Saunggalah. Proses Kepindahan Seperti Ini Memang Merepotkan, Namun Pengaruh Positifnya Jelas Sekali Dalam Hal Pemantapan Etnik Di Jawa Barat. Antara Galuh Dengan Sunda Memang Terdapat Kelainan Dalam Hal Tradisi.

Anwas Adiwijaya [ 1975 ] Mengungkapkan Bahwa Orang Galuh Itu "Orang Air", Sedang Orang Sunda "Orang Gunung". Yang Satu Memiliki "Mitos Buaya", Yang Lain "Mitos Harimau". Di Daerah Ciamis Dan Tasikmalaya Masih Ada Beberapa Tempat Yang Bernama Panereban. Tempat Yang Bernama Demikian Pada Masa Silam Merupakan Tempat Melabuhkan [ Nerebkeun ] Mayat Karena Menurut Tradisi Galuh, Mayat Harus "Dilarung" [ Dihanyutkan ] Di Sungai. Sebaliknya Orang Kanekes Yang Masih Menyimpan Banyak Sekali "Sisa-Sisa" Tradisi Sunda, Mengubur Mayat Dalam Tanah. Tradisi "Nerebkeun" Di Sebelah Timur Dan Tradisi "Ngurebkeun" Di Sebelah Barat [ Membekas Dalam Istilah Panereban Dan Pasarean ].

Sejarah Kerajaan Pajajaran Telah Meleburkan Kedua Kelompok Sub-Etnik Ini Menjadi Satu "Orang Air" Dengan "Orang Gunung" Itu Menjadi Akrab Dan Berbaur Seperti Dilambangkan Oleh Dongeng Sakadang Kuya Jeung Sakadang Monyet [ Kura-Kura Dan Monyet ]. Dongeng Yang Khas Sunda Ini Sangat Mendalam Dan Meluas Dalam Segala Lapisan Masyarakat, Padahal Mereka Tahu, Bahwa Dalam Kenyataan Sehari-Hari Monyet Dan Kuya Itu Bertemu Saja Mugkin Tidak Pernah. Pada Abad Ke-14 Sebutan Sunda Itu Sudah Meliputi Seluruh Jawa Barat, Baik Dalam Pengertian Wilayah Maupun Dalam Pengertian Etnik. Menurut Pustaka Paratwan I Bgumi Jawadwipa, Parwa I Sarga 1, Nama Sunda Mulai Digunakan Oleh Purnawarman Untuk Ibukota Tarumanagara Yang Baru Didirikannya, Sundapura. Idealisme Kenegaraan Memang Terpaut Di Dalamnya Karena Sundapura Mengandung Arti Kota Suci Atau Kota Murni, Sedangkan Galuh Berarti Permata Atau Batu Mulia.

Dalam Periode Yang Sama, Di Timur Pulau Jawa Muncul Sebuah Kota Baru Yang Makin Mendesak Kedudukan Galuh Dan Saunggalah, Yaitu Kawali [ Artinya Kuali Atau Belanga ]. Lokasinya Strategis Karena Berada Di Tengah Segitiga Galunggung, Saunggalah Dan Galuh. Sejak Abad XIV Ini Galuh Selalu Disangkutpautkan Dengan Kawali. Dua Orang Raja Sunda Dipusarakan Di Winduraja. Pemerintahan Kerajaan Pajajaran Yang Condong Ke Timur Sudah Mulai Nampak Sejak Masa Pemerintahan Prabu Ragasuci [ 1297-1303 ].

Ketika Naik Tahta Menggantikan Ayahnya [ Prabu Darmasiksa ], Ia Tetap Memilih Saunggalah Sebagai Pusat Pemerintahan Kerajaan Pajajaran Karena Ia Sendiri Sebelumnya Telah Lama Berkedudukan Sebagai Raja Di Timur. Tetapi Pada Masa Pemerintahan Puteranya Prabu Citraganda, Sekali Lagi Pakuan Menjadi Pusat Pemerintahan Kerajaan Pajajaran. Ragasuci Sebenarnya Bukan Putera Mahkota Karena Kedudukanya Itu Dijabat Kakaknya Rakeyan Jayadarma. Menurut Pustaka Rajyatajya I Bhumi Nusantara Parwa II Sarga 3, Jayadarma Adalah Menantu Mahisa Campaka Di Jawa Timur Karena Ia Berjodoh Dengan Dyah Singamurti Alias Dyah Lembu Tal. Mereka Berputera Sang Nararya Sanggramawijaya Atau Lebih Dikenal Dengan Nama Raden Wijaya, Yang Lahir Di Pakuan.

Karena Jayadarma Wafat Dalam Usia Muda, Lembu Tal Tidak Bersedia Tinggal Lebih Lama Di Pakuan. Akhirnya Wijaya Dan Ibunya Diantarkan Ke Jawa Timur. Dalam Babad Tanah Jawi, Wijaya Disebut Pula Jaka Susuruh Dari Kerajaan Pajajaran Yang Kemudian Menjadi Raja Majapahit Yang Pertama. Kematian Jayadarma Mengosongkan Kedudukan Putera Mahkota Karena Wijaya Berada Di Jawa Timur. Prabu Darmasiksa Kemudian Menunjuk Putera Prabu Ragasuci, Citraganda, Sebagai Calon Ahli Warisnya. Permaisuri Ragasuci Adalah Dara Puspa, Puteri Kerajaan Melayu, Adik Dara Kencana Isteri Kertanegara. Citraganda Tinggal Di Pakuan Bersama Kakeknya.

Ketika Prabu Darmasiksa Wafat, Untuk Sementara Ia Menjadi Raja Daerah Selama Enam Tahun Di Pakuan. Ketika Itu Raja Sunda Dijabat Ayahnya Di Saunggalah. Dari 1303 Sampai 1311, Citraganda Menjadi Raja Sunda Di Pakuan Dan Ketika Wafat Ia Dipusarakan Di Tanjung. Prabu Lingga Dewata, Putera Citraganda, Mungkin Berkedudukan Di Kawali. Yang Pasti, Menantunya, Prabu Ajiguna Wisesa [ 1333-1340 ] Sudah Berkedudukan Di Kawali Dan Sampai Tahun 1482 Pusat Pemerintahan Kerajaan Pajajaran Tetap Berada Di Sana. Bisa Disebut Bahwa Tahun 1333-1482 Adalah Jaman Kawali Dalam Sejarah Pemerintahan Di Jawa Barat Dan Mengenal Lima Orang Raja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar