Selasa, 17 April 2012

Buletin Bagian KaDalapan

Bagian VIII

Raja Kerajaan Pajajaran Keempat Adalah Ratu Sakti [ 1543 - 1551 ]. Untuk Mengatasi Keadaan Yang Ditinggalkan Ratu Dewata Yang Bertindak Serba Alim, Ia Bersikap Keras Bahkan Akhirnya Kejam Dan Lalim. Dengan Pendek Carita Parahiyangan Melukiskan Raja Ini. Banyak Rakyat Dihukum Mati Tanpa Diteliti Lebih Dahulu Salah Tidaknya. Harta Benda Rakyat Dirampas Untuk Kepentingan Keraton Tanpa Rasa Malu Sama Sekali. Kemudian Raja Ini Melakukan Pelanggaran Yang Sama Dengan Dewa Niskala Yaitu Mengawini "Estri Larangan Ti Kaluaran" [ Wanita Pengungsi Yang Sudah Bertunangan ]. Masih Ditambah Lagi Dengan Berbuat Skandal Terhadap Ibu Tirinya Yaitu Bekas Para Selir Ayahnya. Karena Itu Ia Diturunkan Dari Tahta Kerajaan. Ia Hanya Beruntung Karena Waktu Itu Sebagian Besar Pasukan Hasanuddin Dan Fadillah Sedang Membantu Sultan Trenggana Menyerbu Pasurua Dan Panarukan. Setelah Meninggal, Ratu Sakti Dipusarakan Di Pengpelengan.



Nilakendra Atau Tohaan Di Majaya Naik Tahta Sebagai Penguasa Kerajaan Pajajaran Yang Kelima [ 1551 - 1567 ]. Pada Saat Itu Situasi Kenegaraan Telah Tidak Menentu Dan Frustasi Telah Melanda Segala Lapisan Masyarakat. Carita Parahiyangan Memberitakan Sikap Petani "Wong Huma Darpa Mamangan, Tan Igar Yan Tan Pepelakan" [ Petani Menjadi Serakah Akan Makanan, Tidak Merasa Senang Bila Tidak Bertanam Sesuatu ]. Ini Merupakan Berita Tidak Langsung, Bahwa Kelaparan Telah Berjangkit. Frustasi Di Lingkungan Kerajaan Lebih Parah Lagi. Ketegangan Yang Mencekam Menghadapi Kemungkinan Serangan Musuh Yang Datang Setiap Saat Telah Mendorong Raja Beserta Para Pembesarnya Memperdalam Aliran Keagamaan Tantra. Aliran Ini Mengutamakan Mantera-Mantera Yang Terus Menerus Diucapkan Sampai Kadang-Kadang Orang Yang Bersangkutan Merasa Bebas Dari Keadaan Di Sekitarnya. Seringkali, Untuk Mempercepat Keadaan Tidak Sadar Itu, Digunakan Minuman Keras Yang Didahului Dengan Pesta Pora Makanan Enak.

"Lawasnya Ratu Kampa Kalayan Pangan, Tatan Agama Gyan Kewaliya Mamangan Sadrasa Nu Surup Ka Sangkan Beuanghar"

[ Karena Terlalu Lama Raja Tergoda Oleh Makanan, Tiada Ilmu Yang Disenanginya Kecuali Perihal Makanan Lezat Yang Layak Dengan Tingkat Kekayaan ].

Selain Itu, Nilakendra Malah Memperindah Keraton, Membangun Taman Dengan Jalur-Jalur Berbatu [ "Dibalay" ] Mengapit Gerbang Larangan. Kemudian Membangun "Rumah Keramat" [ Bale Bobot ] Sebanyak 17 Baris Yang Ditulisi Bermacam-Macam Kisah Dengan Emas. Mengenai Musuh Yang Harus Dihadapinya, Sebagai Penganut Ajaran Tantra Yang Setia, Ia Membuat Sebuah "Bendera Keramat" [ "Ngibuda Sanghiyang Panji" ]. Bendera Inilah Yang Diandalkannya Menolak Musuh. Meskipun Bendera Ini Tak Ada Gunanya Dalam Menghadapi Laskar Banten Karena Mereka Tidak Takut Karenanya. Akhirnya Nasib Nilakendra Dikisahkan "Alah Prangrang, Maka Tan Nitih Ring Kadatwan" [ Kalah Perang, Maka Ia Tidak Tinggal Di Keraton ].

Nilakendra Sejaman Dengan Panembahan Hasanudin Dari Banten Dan Bila Diteliti Isi Buku Sejarah Banten Tentang Serangan Ke Pakuan Yang Ternyata Melibatkan Hasanudin Dengan Puteranya Yusuf, Dapatlah Disimpulkan, Bahwa Yang Tampil Ke Depan Dalam Serangan Itu Adalah Putera Mahkota Yusuf. Peristiwa Kekalahan Nilakendra Ini Terjadi Ketika Susuhunan Jati Masih Hidup [ Ia Baru Wafat Tahun 1568 Dan Fadillah Wafat 2 Tahun Kemudian ]. Sejak Saat Itu Ibukota Pakuan Telah Ditinggalkan Oleh Raja Dan Dibiarkan Nasibnya Berada Pada Penduduk Dan Para Prajurit Yang Ditinggalkan. Namun Ternyata Pakuan Sanggup Bertahan 12 Tahun Lagi.

Raja Kerajaan Pajajaran Yang Terakhir Adalah Nusya Mulya [ Menurut Carita Parahiyangan ] 1567 - 1579. Dalam Naskah-Naskah Wangsakerta Ia Disebut Raga Mulya Alias Prabu Suryakancana. Raja Ini Tidak Berkedudukan Di Pakuan, Tetapi Di Pulasari, Pandeglang. Oleh Karena Itu, Ia Disebut Pucuk Umun [ Panembahan ] Pulasari. Mungkin Raja Ini Berkedudukan Di Kaduhejo, Kecamatan Menes Pada Lereng Gunung Palasari.

Menurut Pustaka Nusantara III/1 Dan Kretabhumi I/2 :
"Kerajaan Pajajaran Sirna Ing Ekadaca Cuklapaksa Weshakamasa Sewu Limang Atus Punjul Siki Ikang Cakakala"
[ Kerajaan Pajajaran Lenyap Pada Tanggal 11 Bagian Terang Bulan Wesaka Tahun 1501 Saka ]. Kira-Kira Jatuh Pada Tanggal 8 Mei 1579 M.
Sejarah Banten Memberitakan Keberangkatan Pasukan Banten Ketika Akan Melakukan Penyerangan Ke Pakuan Dalam Pupuh Kinanti :
"Waktu Keberangkatan Itu Terjadi Bulan Muharam Tepat Pada Awal Bulan Hari Ahad Tahun Alif Inilah Tahun Sakanya Satu Lima Kosong Satu".
Walaupun Tahun Alief Baru Digunakan Oleh Sultan Agung Mataram Dalam Tahun 1633 M, Namun Dengan Perhitungan Mundur, Tahun Kejatuhan Pakuan 1579 Itu Memang Akan Jatuh Pada Tahun Alif. Yang Keliru Hanyalah Hari, Sebab Dalam Periode Itu, Tanggal Satu Muharam Tahun Alif Akan Jatuh Pada Hari Sabtu.

Yang Penting Dari Naskah Banten Tersebut Adalah Memberitakan, Bahwa Benteng Kota Pakuan Baru Dapat Dibobol Setelah Terjadi "Penghianatan". Komandan Kawal Benteng Pakuan Merasa Sakit Hati Karena "Tidak Memperoleh Kenaikan Pangkat". Ia Adalah Saudara Ki Jongjo, Seorang Kepercayaan Panembahan Yusuf. Tengah Malam, Ki Jongjo Bersama Pasukan Khusus Menyelinap Ke Dalam Kota Setelah Pintu Benteng Terlebih Dahulu Dibukakan Saudaranya Itu. Kisah Itu Mungkin Benar Mungkin Tidak. Yang Jelas Justeru Menggambarkan Betapa Tangguhnya Benteng Pakuan Yang Dibuat Siliwangi. Setelah Ditinggalkan Oleh Raja Selama 12 Tahun, Pasukan Banten Masih Terpaksa Menggunakan Cara Halus Untuk Menembusnya. Dan Berakhirlah Jaman Kerajaan Pajajaran [ 1482 - 1579 ].

Itu Ditandai Dengan Diboyongnya Palangka Sriman Sriwacana, Tempat Duduk Kala Seorang Raja Dinobatkan, Dari Pakuan Ke Surasowan Di Banten Oleh Pasukan Maulana Yusuf. Batu Berukuran 200 X 160 X 20 Cm Itu Terpaksa Di Boyong Ke Banten Karena Tradisi Politik Waktu Itu "Mengharuskan" Demikian. Pertama, Dengan Dirampasnya Palangka Tersebut, Di Pakuan Tidak Mungkin Lagi Dinobatkan Raja Baru. Kedua, Dengan Memiliki Palangka Itu, Maulana Yusuf Merupakan Penerus Kekuasaan Kerajaan Pajajaran Yang "Sah" Karena Buyut Perempuannya Adalah Puteri Sri Baduga Maharaja.

Dalam Carita Parahiyangan Diberitakan Sebagai Berikut:

"Sang Susuktunggal Inyana Nu Nyieuna Palangka Sriman Sriwacana Sri Baduga Maharajadiraja Ratu Haji Di Pakwan Kerajaan Pajajaran Nu Mikadatwan Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, Inyana Pakwan Sanghiyang Sri Ratu Dewata"

[ Sang Susuktunggal Ialah Yang Membuat Tahta Sriman Sriwacana [ Untuk ] Sri Baduga Maharaja Ratu Penguasa Di Pakuan Kerajaan Pajajaran Yang Bersemayam Di Keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati Yaitu Istana Sanghiyang Sri Ratu Dewata ].

Kata Palangka Secara Umum Berarti Tempat Duduk [ Pangcalikan ]. Bagi Raja Berarti Tahta. Dalam Hal Ini Adalah Tahta Penobatanya itu Tempat Duduk Khusus Yang Hanya Digunakan Pada Upacara Penobatan. Di Atas Palangka Itulah Si [ Calon ] Raja Diberkati [ Diwastu ] Oleh Pendeta Tertinggi. Tempatnya Berada Di Kabuyutan Kerajaan, Tidak Di Dalam Istana. Sesuai Dengan Tradisi, Tahta Itu Terbuat Dari Batu Dan Digosok Halus Mengkilap. Batu Tahta Seperti Ini Oleh Penduduk Biasanya Disebut Batu Pangcalikan Atau Batu Ranjang [ Bila Kebetulan Dilengkapi Dengan Kaki Seperti Balai-Balai Biasa ]. Batu Pangcalikan Bisa Ditemukan, Misalnya Di Makam Kuno Dekat Situ Sangiang Di Desa Cibalanarik, Kecamatan Sukaraja, Tasikmalaya Dan Di Karang Kamulyan Bekas Pusat Kerajaan Galuh Di Ciamis. Sementara Batu Ranjang Dengan Kaki Berukir Dapat Ditemukan Di Desa Batu Ranjang, Kecamatan Cimanuk, Pandeglang [ Pada Petakan Sawah Yang Terjepit Pohon ]. Palangka Sriman Sriwacana Sendiri Saat Ini Bisa Ditemukan Di Depan Bekas Keraton Surasowan Di Banten. Karena Mengkilap, Orang Banten Menyebutnya Watu Gigilang. Kata Gigilang Berarti Mengkilap Atau Berseri, Sama Artinya Dengan Kata Sriman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar